Saturday, September 14, 2013

Menjaga Akhlak Kepada Allah SWT

Oleh : Muhammad Wahyudi/ PAI 5

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”. (Al-Ahzab: 21)
Mudah-mudahan Allah SWT yang Maha Mengetahui siapa diri kita yang sebenarnya, menolong kita agar dapat mengetahui kekurangan yang harus diperbaiki, memberitahu jalan yang harus ditempuh, dan memberikan karunia semangat terus-menerus sehingga kita tidak dikalahkan oleh kemalasan, tidak dikalahkan oleh kebosanan, dan tidak dikalahkan oleh hawa nafsu.
Dan mudah-mudahan pula warisan terbaik diri kita yang dapat diwariskan kepada keluarga, keturunan, dan lingkungan adalah keindahan akhlak kita. Karena ternyata keislaman seseorang tidak diukur oleh luasnya ilmu. Keimanan seseorang tidak diukur oleh hebatnya pembicaraan. Kedudukan seseorang disisi Allah SWT tidak juga diukur oleh kekuatan ibadahnya semata. Tapi semua kemuliaan seorang yang paling benar Islamnya, yang paling baik imannya, yang paling dicintai oleh Allah, yang paling tinggi kedudukannya dalam pandangan Allah dan yang akan menemani Rasulullah SAW ternyata sangat khas, yaitu orang yang paling mulia akhlaknya.
Walhasil sehebat apapun pengetahuan dan amal kita, sebanyak apapun harta kita, setinggi apapun kedudukan kita, jikalau akhlaknya rusak maka tidak bernilai. Kadang kita terpesona kepada topeng duniawi tapi segera sesudah tahu akhlaknya buruk, pesona pun akan pudar.
Yakinlah bahwa Rasulullah SAW diutus ke dunia ini adalah untuk menyempurnakan akhlak. Hal ini dinyatakan sendiri oleh beliau ketika menjawab pertanyaan seorang sahabatnya, "Mengapa engkau diutus ke dunia ini ya Rasul?". Rasul menjawab,
"Sungguh aku diutus menjadi Rasul tidak lain adalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia".
Sayangnya kalau kita mendengar kata akhlak seakan fokus pikiran kita hanya terbentuk pada senyuman dan keramahan. Padahal maksud akhlak yang sebenarnya jauh melampaui sekedar senyuman dan keramahan. Karenanya penjabaran akhlak dalam perilaku sehari-hari bukanlah suatu hal yang terpecah-pecah, semua terintegrasi dalam satu kesatuan utuh, termasuk bagaimana akhlak kita kepada Allah SWT.
Akhlak kita kepada Allah SWT harus dipastikan benar-benar bersih. Orang yang menjaga akhlaknya kepada Allah, hatinya benar-benar putih seperti putihnya air susu yang tidak pernah tercampuri apapun. Bersih sebersih-bersihnya. Bersih keyakinannya, tidak ada sekutu lain selain Allah. Tidak ada satu tetes pun di hatinya meyakini kekuatan di alam semesta ini selain kekuatan Allah SWT sehingga ia sangat jauh dari sifat munafik.
Bagaimanakah sifat orang munafik itu? Berikut ini kita kutif tulisan dari Imam Al Ghazali yang menuturkan ucapan Imam Hatim Al Ashom, seorang ulama yang shalih ketika mengupas perbedaan antara orang mukmim dengan orang munafik.
"Seorang mukmin senantiasa disibukan dengan bertafakur, merenung, mengambil pelajaran dari aneka kejadian apapun di muka bumi ini, sementara orang munafik disibukan dengan ketamakan dan angan-angan kosong terhadap dunia ini.
Seorang mukim berputus asa dari siapa saja dan kepada siapa saja kecuali hanya kepada Allah, sementara orang munafik mengharap dari siapa saja kecuali dari mengharap kepada Allah.
Seorang mukmin merasa aman, tidak gentar, tidak takut oleh ancaman siapa pun kecuali takut hanya kepada Allah karena dia yakin bahwa apapun yang mengancam dia ada dalam genggaman Allah, di lain pihak orang munafik justru takut kepada siapa saja kecuali takut kepada Allah, naudzhubilah, yang tidak dia takuti malah Allah SWT.
Seorang mukmin menawarkan hartanya demi mempertahankan agamanya, sementara seorang munafik menawarkan agamanya demi mempertahankan hartanya.
Seorang mukmin menangis karena malunya kepada Allah meskipun dia berbuat kebajikan, sementara seorang munafik tetap tertawa meskipun dia berbuat keburukan.
Seorang mukmin senang berkhalwat dengan menyendiri bermunajat kepada Allah, sementara seorang munafik senang berkumpul dengan bersukaria bercampur baur dengan khalayak yang tidak ingat kepada Allah SWT.
Seorang mukmin ketika menanam merasa takut jikalau merusak, sedangkan seorang munafik mencabuti seraya mengharapkan panen.
Seorang mukmin memerintahkan dan melarang sebagai siasat dan cara sehingga berhasil memperbaiki, larangan dan perintah seorang mukmin adalah upaya untuk memperbaiki sementara seorang munafik memerintah dan melarang demi meraih jabatan dan kedudukan sehingga dia malah merusak, naudzhubillah".
Nampak demikian jauh beda akhlak antara seorang mukmin dengan seorang munafik. Oleh karenanya kita harus benar-benar berusaha menjauhi perilaku-perilaku munafik seperti diuraikan di atas. Kita harus benar-benar mencegah diri kita untuk meyakini adanya penguasa yang menandingi kebesaran dan keagungan Allah. Kita harus yakin siapa pun yang punya jabatan di dunia ini hanyalah sekedar makhluk yang hidup sebentar dan bakal mati, seperti halnya kita juga. Jangan terperangah dan terpesona dengan kedudukan, pangkat, dan jabatan, sebab itu cuma tempelan sebentar saja, yang kalau tidak hati-hati justru itulah yang akan menghinakan dirinya.
Allah SWT Berfirman yg artinya:

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus seorang Rasul untuk setiap umat ( untuk menyerukan) :“Sembahlah Allah dan jauhilah thoghut.” Kemidian diantara mereka ada yg diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula yg teap dalam kesalahan. Maka berjalanlah kamu di bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang yg mendustakan (Rasul-rasul)”. (QS. An-Nahl: 36)

Bulatkan dan bersihkan hati kita hanya kepada Allah SWT dengan dibuktikan oleh kesungguhan ibadah dan amal kita. Sehingga tidak usah menyimpan keris sekecil apapun di rumah kita hanya untuk menjadi penolak bala. Allah SWT yang Maha agung dan Maha kuasa dapat menolong kita tanpa harus kita menyimpan jimat.
Dari Jabir RA berkata : Rashulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya orang yang paling saya kasihi dan yang paling dekat padaku majelisnya di hari kiamat ialah yang terbaik budi pekertinya.” (HR. Tirmidzi dengan sanad hasan. Diriwayatkan juga oleh Ahmad dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban. Lihat Ash shahihah Juz 2 hal 418-419).
Sebuah syair arab berbunyi :
“innamal umamul akhlaaqu maa baqiyat fa in hum dzahabat akhlaquhum dzahabu”
(sebenarnya suatu bangsa akan menjadi jaya dan terhormat selama bangsa itu memiliki akhlak yang luhur. Dan apabila bangsa telah kehilangan akhlaknya, maka akan hilang pulalah kejayaan dan kehormatannya)
Selanjutnya,  jika kita perhatikan negeri ini, kita bisa menemukan kenapa kehormaan negeri ini mulai hilang? ….jawabannya, karena kurangnya akhlak yang dimiliki oleh anak negeri ini. Korupsi bukannya malah dihilangkan, tapi malah jadi ikutan. Jika hidup dengan gaya hedonisme bukannya diendapkan, tapi malah ditunjukkan. Jika ini terus terjadi bias-bisa negeri ini akan makin kehilangan kejayaan dan kehormatannya. 

Gontor, Kampus Siman 14 September 2013

0 comments:

Post a Comment