Nilai Keikhlasan Dan Perusaknya

Priyo Nandang Subagiyo/ PAI 6.

BAGAIMANA MENYIKAPI MADZHAB

Oleh: Arief Rahman Hakim/PMH 6

Mendidik Diri Dengan Wasiat Nabi

Oleh : Muhammad Zulkifly Rasyid / Mu 6

Sudah Terujikah Iman Kita

Oleh : Departemen Publikasi

Friday, October 25, 2013

Menjernihkan Hati Atau Tazkiyatun Nafsi

OLeh: Syukril Agaba /PBA 5
Allah Subhanahu Wata’ala, Tuhan maha pencipta dan maha pengatur, menciptakan manusia dengan memberinya dua macam kekuatan.Yaitu kekuatan jasmani dan kekuatan rohani, atau kemampuan yang bersifat lahiriyah dan kemampuan yang bersifat batiniyah. Manusia terdiri dari dua macam badan, badan jasmani atau badan wadhag  dan badan rohani atau ruh atau jiwa.
Tidak hanya cukup sebagai makhluk yang sempurna, segala apa yang ada dilangit dan di bumi ini oleh Allah SWT dijadikan tunduk kepada manusia, diperuntukkan bagi umat manusia supaya dengan sebaik-baiknya dimanfa'atkan bagi kepentingan hidupnya di dunia dan di akhirat.
Firman Allah Subhanahu Wata’ala:
“Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan) mu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin”. (QS. 31 – Luqman: 20)
Kedua kekuatan, kekuatan lahir dan kekuatan batin yang dimiliki manusia itu tidak lain agar supaya dipergunakan untuk mendatangkan manfa'at sebesar-besarnya guna memperoleh dan membina hidup yang selamat sejahtera materiil dan spirituil, lahir dan batin, di dunia dan di akhiratnya kelak. Dan sebagai insan sosial, kekuatan lahir dan kekuatan batin manusia merupakan perangkat pemberian Tuhan baginya untuk mengemban tugas sebagai “kholifatulloh” atau “wakil Allah SWT” di bumi. Tugas mulia yang dipercayakan Allah SWT kepada manusia untuk mengatur kehidupan di dunia menurut konsepsi yang digariskan oleh Allah SWT. Sebagaimana firmannya  didalam  Al- Qur'an:
”Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan kholifah di muka bumi”. (QS. 2 – Al Baqoroh: 30)
Kekuatan lahiriyah, seperti yang kita maklumi adalah daya kemampuan yang kelihatan mata lahir atau yang dapat diperhitungkan oleh akal pikiran atau rasio. Akal pikiran atau rasio itu sendiripun tergolong kekuatan lahir. Betapapun besarnya kemampuan lahiriyah manusia,  akan tetapi masih terbatas sekali apabila dibandingkan dengan kemampuan batin atau jiwa manusia. Kekuatan lahir hanya bisa berhubungan dengan alam lahir/alam nyata. Sedangkan kekuatan batin atau jiwa manusia dapat menembus alam ghaib, dapat menjelajahi alam metafisika, bahkan dapat mengadakan komunikasi dengan alam luar manusia, dengan alam jin dan alam malaikat, bahkan dapat beraudiensi dengan Tuhan pencipta seluruh alam.
Pusat segala kegiatan manusia, baik kegiatan jasmani maupun rohani terletak di dalam hatinya. Hati manusia merupakan “Pusat Komando” dari segala macam gerak dan lakunya. Bahkan disamping sebagai pusat komando, sekaligus juga sebagai motor penggerak yang menggerakkan segala macam gerak-gerik dan tingkah laku manusia. Perbuatan baik maupun jahat, perbuatan yang menguntungkan ataupun yang merugikan, semua itu dikomando atau digerakkan oleh hati. Adapun faktor pikiran, sekalipun dipenuhi dengan berbagai macam perbendaharaan ilmu pengetahuan dan hikmah kebijaksanaan.
Di dalam kehidupan sehari-hari kita sering melihat, mendengar atau mungkin pernah bahkan sering mangalami sendiri bahwa akal pikiran dapat membedakan mana yang baik dan mana yang tidak baik, dapat membedakan antara yang benar dan yang batal, dapat mengetahui mana yang menguntungkan dan mana yang merugikan, mengerti mana itu halal itu haram, mengerti itu boleh dikerjakan dan ini tidak, dan lain sebagainya, akan tetapi di dalam prakteknya justru sebaliknya. Yang baik ditinggalkan, yang buruk dikerjakan.Yang menguntungkan malah dihindari/dijauhi dan yang merugikan justru dimasuki/dilakukan.Yang haram dikejar-kejar dan yang halal tidak dihiraukan.Yang benar tidak diikuti dan yang batal dipergauli.
Ilmu pengetahuan yang berada di dalam otak pikiran manusia tidak mampu mengendalikannya, tidak mampu mengarahkan kepada suatu perbuatan yang sesuai dengan ilmu dan pengertian yang dimilikinya. Jika seorang ditanya: “Apakah perbuatan mencuri itu baik?”, pasti dia menjawab: “Tidak baik”. Siapapun jika ditanya: “Apakah perbuatan menipu, korupsi, merugikan atau menyakiti orang lain itu diperbolehkan?”, semua akan menjawab: “Tidak”. Bahkan semua orang mengetahui bahwa perbuatan tersebut tercela dan sangat terkecam. Tetapi mengapa toh akhirnya terjadi juga dilakukan oleh sebagian bahkan banyak orang? Tidak lain karena didorong oleh keinginan nafsu yang bersarang di dalam hati.
Jelasnya manusia akan menjerumus kepada kejahatan dan kehancuran apabila hatinya penuh dengan kotoran-kotoran nafsu yang berkuasa didalamnya. Dan manusia dikatakan baik, baik budinya, baik akhlaknya, baik perangainya/pekertinya, dan baik perbuatannya, apabila hatinya bersih dari kotoran-kotoran nafsu. Oleh karena itu hati manusia harus selalu dibersihkan dari kotoran-kotoran dan dari hama penyakitnya .
Betapa tepat dan bijaksananya Rosululloh SAW. Beliau telah memberikan peringatan kepada kita dengan sabdanya:
“Sesungguhnya di dalam jasad manusia itu ada segumpal daging; apabila segumpal daging itu baik, menjadi baik pulalah seluruh jasad, dan apabila rusak atau kotor, menjadi rusak pula seluruh jasad.Ketahuilah, yaitu hati.” (Hadits riwayat Imam Bukhori dan Muslim dari Nu'man bin Basyir ra)
Atas dasar hadits tersebut di atas maka kemudian para Ulama Shufi mengatakan, antara lain sebagai berikut:
“Membersihkan jiwa (hati) dari kotoran-kotoran (nafsu) adalah wajib.” (Kitab Kifayatul Atqiya). Wajib disini dalam arti harus diusahakan oleh setiap orang dalam rangka upaya mencapai hidup selamat sejahtera dan bahagia lahir dan batin, dunia dan akhirat. Tazkiyatun-nafsi atau membersihkan hati, maksudnya membebaskan hati dari pengaruh-pengaruh nafsu yang senantiasa berusaha dan bertipu daya untuk menguasai hati manusia. Di dalam Kitab Suci Al-Qur'an diterangkan pernyataan Nabi Yusuf a.s. tentang tekad beliau yang senantiasa waspada terhadap tipu daya nafsu, sebagai berikut:
“Dan tidaklah aku membiarkan diriku (dikuasai nafsu), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku.” (QS. 12 – Yusuf: 53)
Membersihkan hati, istilah yang populer sekarang operasi mental.“Operasi Mental” yang dialami oleh Rosulullah SAW, ketika akan menjalani Isro'-Mi'roj merupakan tuntunan nyata yang harus diikuti oleh para umat. Bahkan oleh setiap insan yang hidup di dunia ini. Berkat adanya operasi tesebut, dimana kotoran-kotoran yang terdapat di dalam hati Rosulullah SAW dikeluarkan dan kemudian dimasukkannya iman, islam, ihsan, amanah dan kejujuran, maka segala gangguan dan godaan yang dialami dalam perjalanan Isro' dan Mi'roj, semua dapat diatasi dengan sempurna dan sukses menghadap ke hadirot Allah SWT untuk menerima tugas-tugas yang harus dilaksanakan para umat, termasuk sholat lima waktu dalam sehari semalam.
Bermacam-macam cara telah banyak ditempuh oleh umat masyarakat dalam melaksanakan operasi mental. Melalui pengajaran dan pendidikan, lewat sistem dakwah dan penerangan-penerangan agama, menggunakan media massa, surat-surat kabar dan majalah, radio, televisi dan buku-buku, melalui perkumpulan, organisasi-organisasi sosial dan bermacam-macam bentuk pergaulan hidup lainnya. Bahkan ada yang menempuh dengan riyadloh-riyadloh badaniyah dan latihan-latihan kejiwaaan atau kerohanian. Masing-masing dengan metode dan sistematika yang berbeda-beda.
Secara umum operasi mental tesebut di atas dalam garis besarnya dititik beratkan pada prinsip penanaman pengertian dan ilmu pengetahuan sehingga diharapkan bisa tumbuh suatu kesadaran. Akan tetapi kenyataan di dalam prakteknya tidak semudah itu. Pengertian dan ilmu pengetahuan masih belum memberi jaminan akan tercapainya kondisi hati yang bersih dan jernih terbebas dari pengaruh-pengaruh nafsu yang menjadi sarang yang subur baginya.
Mengingat semakin hebatnya pengaruh-pengaruh dari berbagai jurusan yang merangsang hati manusia, yakni pengaruh negatif yang menyuburkan pertumbuhan sebuah kejahatan, maka operasi mental, membersihkan dan menjernihkan  hati harus secara terus menerus diusahakan oleh setiap orang. Disamping dengan cara-cara operasi mental seperti di atas dan yang sudah banyak dijalankan oleh masyarakat selama ini, masih ada suatu cara yang belum banyak dilakukan orang. Yaitu pendayagunaan kekuatan atau potensi batiniyah dalam bentuk doa permohonan kepada Allah SWT, Tuhan yang maha kuasa, maha mengatur, maha pengasih lagi maha penyayang. Doa permohonan hidayah/petunjuk dan pertolongannya.

Pendayagunaan potensi batiniyah dalam bentuk doa atau permohonan kepada Allah SWT baik yang dilaksanakan secara sendiri-sendiri atau berkelompok (berjamaah/bersama-sama), jika dibandingkan dengan pendayagunaan potensi lahiriyah dalam bentuk bekerja, berkarya dan bentuk-bentuk aktifitas atau kegiatan lahiriyah lainnya, adalah masih sangat tidak seimbang. Masih banyak peluang kesempatan dan sisa kekuatan yang belum dimanfa'atkan untuk berdoa mememohon kepada Allah SWT. Padahal seperti yang disebutkan di atas, bahwa kedua kekuatan; kekuatan lahir dan kekuatan batin yang sama-sama sebagai anugerah pemberian Allah SWT itu harus dimanfa'atkan secara harmonis dan berkeseimbangan dengan kebutuhan hidup serta saling isi mengisi.Lebih-lebih jika diingat bahwa hidayah Allah SWT adalah mutlak dibutuhkan oleh setiap insan.Tanpahidayah/petunjuk dari Allah SWT, manusia pasti tersesat dan terjerumus ke jurang kehancuran dan kesengsaraan.

Wallahu A'lam

ISID, Kampus Siman, 25 Oktober 2013

Hidup Untuk Beribadah

Oleh: Agus Triyanto /PAI 5
Tak terasa lama sudah kita jalani hidup sebagai manusia di muka bumi ini. Hari demi hari, minggu demi minggu hingga tahun demi tahun dan tanpa kita sadari tinggal berapa lagi dari umur kita yang telah ditentukan yang masih tersisa. tetapi adakah hidup yang telah kita jalani sepanjang ini telah berarti?, dan apakah hidup kita selama ini adalah demi hidup yang semestinya hidup, bukan sekedar hidup?. Sejenak marilah kita renungan!
Kita hidup sebagai manusia maka kita adalah manusia yang hidup. Di mana hidup berarti berkehendak, bergerak, dan berbuat adapun yang tidak demikian adanya berarti tidak hidup melainkan mati. Sedangkan manusia adalah ciptaan sebagaimana ciptaan lainnya, di mana telah kita ketahui bahwasanya kalau lah ada yang diciptakan berarti pasti ada yang menciptakan. Sebagaimana adanya pisau karena adanya pandai besi, adanya nasi karena adanya petani, adanya gedung tinggi karena adanya kuli dan seterusnya yang keseluruhannya adalah merupakan ciptaan Sang Maha Pencipta dialah Allah SWT yang maha segalanya. Ia ciptaan seluruh alam semesta ini demi mengabdi kepadanya begitu pula kita  yang dengan kelebihan-kelebihan yang ada telah diamanahkan kepada kita untuk menjadi kholifah di muka bumi ini setelah sebelumnya para makhluk lainnya menyatakan ketidaksangggupan mereka untuk mengemban tugas tersebut. Dari pada itu hiduplah kita sebagai manusia dan jadilah kita manusia yang hidup. Akan tetapi kiranya apa yang harus kita perbuat untuk menyatakan bahwa kita adalah manusia yang hidup?
           Orang-orang yang beriman hidupnya tidak untuk hidup, tapi hidupnya untuk maha hidup, hidupnya bukan untuk mati, tapi mati justru itu untuk hidup, dia tidak takut mati, dia tidak lupakan mati, tapi ia rindukan mati, mengapa? Karena mati bukanlah wafat, dan mati satu-satunya pintu berjumpa dengan Allah.
Terlebih dahulu hendaklah kita pahami apa hakekat hidup bagi kita manusia yang tak lain adalah sebagaimana difirmankan Allah SWT
Yang artinya :“tidaklah aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk mengabdi ( beribadah ) kepadaku”. ( Q. S. Adz-zariyat : 56  ).
Apapun propesi kita, entah itu jadi petani, mahasiswa, guru, dosen dari jabatan yang paling rendah sampai jabatan yang paling tinggi sekalipun, kita harus selalu ingat bahwasannya hakekat hidup kita adalah untuk beribadah. Kita hidup itu untuk bermanfaat, bukan hanya memanfaatkan hidup,  apalagi hidup yang dimanfaatkan.
Jadi mengahambakan diri hanya kepada Allah dengan selalu berbuat menurut kehendaknya semata, tidak lain. Kita bukanlah budak diri kita sendiri, kita bukan budak orang lain, penguasa, pemerintah ideologi, opini, ilmu pengetahuan, teknologi, budaya, lingkungan, tidak! melainkan kita adalah budak bagi Allah SWT, budak yang selalu hanya mengharap dengan cinta, kasih sayang  serta ridhonya.
Demikianlah perihal kehidupan kita manusia yang darinya dapat kita pahami bahwa kita manusia begitu di percaya, dikedepakan, ditinggikan dan dimuliakan Allah atas makhluk lainnya dengan segala apa yang telah dilimpahkan kepada kita. Akan tetapi adakah kita telah menjadi hamba Allah yang bersyukur? Adakah kita telah mensyukuri semua itu dengan memanfaatkannya secara benar menurut apa yang dikehendaki oleh Allah SWT?  marilah kita renungkan sejenak.
Betapa banyak dan betapa sering kehancuran terjadi dimuka bumi ini. Kejahatan, kedzaliman, kemunafikan, kerugian, kehilanga, kesedihan, yang berakhir dengan tetesan darah dan derai air mata telah melanda dimana-mana setiap saat hadir mengahampiri setiap lapisan masyarakat, para penguasa, rakyat biasa, kaum berada, yang sengsara, ilmuwan, terbelakang, hingga agamawan apalagi yang tidak mengenal agama. Sehingga menimbulkan keraguan akan fungsi agama bahkan ketidakpercayaan akan agama. Tetapi mengapa agama yang menjadi kambing hitam, mengapa agama yang disalahkan. Agama tidak bersalah, islam adalah benar tetapi umatnyalah yang sering bersalah dan menyalahi agama hingga akhirnya menyalahkan agama islam itu sendiri. Sadarkah kita akan apa yang telah diamanahkan kepada kita bahwa kitalah yang bertanggung jawab mewarnai bumi tuhan ini sehingga bila terjadi segala bentuk kerusakan maka itu semua adalah akibat dari perbuatan kita sendiri.
Seperti yang difirmankan Allah yang artinya: Telah timbul kerusakan di darat dan dilaut dikarenakan ulah perbuatan tangan-tangan manusia. ( QS. Arrum : 41 ).
Dan kalaulah kita teliti lebih lanjut ternyata kesemuanya itu adalah diawali dari bagaimana hati tiap-tiap manusia itu sendiri. Dari hati yang kemudian merasuk keakal pikiran hingga akhirnya terungkap dengan tindakan-tindakan anggota tubuh lainnya. Sebagaimana sabda nabi Muhammad SAW pada hadist Nu'mah bin basyir :
Yang artinya: “Ingatlah didalam tubuh ada segumpal daging, apabila ia baik maka tubuh semuanya menjadi baik dan apabila ia binasa maka tubuh semuanya menjadi binasa. Ketahuilah! Ia adalah hati. (hadits riwayat : muttafaqun alaih)
Betapa hati sangat berpengaruh dalam menentukan dan membentuk pribadi tiap orang, maka suatu keharusan bagi tiap kita untuk berusaha menjaga keadaan, kesehatan dan kebaikan hati, yang semua itu menuntut kita untuk selalu menghadirkan Allah kedalam relung hati kita. Seharusnyalah kita selalu mengingat Allah yang selalu tak pernh lupa apalagi meninggalkan kita bagaimanapun kita adanya karena dengan selalu berdzikir mengingat, menyebut, mengharapkan serta merasakan kehadirannya maka terjagalah kita dari segala hal yang mengganggu keadaan hati kita.
(orang-orang yang beroleh hidayah dan bertaubat ) ialah mereka yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan selalu berdzikir mengingat Allah. Hanya dengan berdzikir nengingat Allah hati menjadi tentram ( Q.S. Ara'd  28 )
Hati menjadi tenang, damai tidak gelisah sehingga menjernihkan pikiran dan menghasilkan perbuatan yang dapat diterima baik dalam hubungan kepada Allah maupun antar sesama manusia.
Adapun kebalikannya bila seseorang lalai, lengah atau bahkan meninggalkan dzikir mengingat Allah sebagaimana yang difirmankan Allah  SWT yang artinya; Barang siapa yang melengahkan dzikir mengingat Allah yang maha pengasih maka Allah akan menjadikan syeitan sebagai temannya. ( Q.S. Az-zukhruf : 36)
Dimana ketika syeitan telah menjadi pendamping bagi seseorang dalam perjalanan hidupnya maka kejahatan apa yang kiranya tidak dapat terjadi? Segala macam penyakit hati seperti iri, dengki, tamak, fitnah, sombong dan lainnya berkecamuk dalm bathinnya serta segala macam kejahatan nampak nyata dalam tingkah laku lahirnya. Sehingga segala macam dosa baik besar maupun kecil diperbuat dengan begitu saja tanpa pernah ada penyesalan darinya, demikian adanya dikarenakan, syaitan telah menguasai mereka, lalu membuat mereka lupa berdzikir menyebut Allah. ( Q. S. Al-mujadalah :19)

Na'udzubillah tsumma na'udzubillah
Hendaklah kita senantiasa terus - menerus berdzikir mengingat Allah dalam kehidupan kita sehari-hari dengan tidak pernah lalai, lengah atau meninggalkannya karena yang demikian merupakan upaya untuk mensucikan diri serta menyelamatkannya dari bisikan-bisikan syeitan yang terkutuk.

Wallahu A'lam

ISID, Kampus Siman, 11 Oktober 2013


Thursday, October 17, 2013

Hakikat Tazkiatun Nafsi di dalam Diri Orang Beriman

Oleh: Sofyan Munawar / PMH 5

Orang beriman sadar bahwa apa yang dimilikinya hanya hak guna (pinjaman), bukan hak milik. Karena yang memilikinya adalah Allah Swt.
Kekayaan seorang mukmin yang paling mahal dalam kehidupan ini adalah manisnya iman kepada Allah Swt. Jika kita memilikinya, sekalipun kita miskin harta, pengaruh, jabatan, tinggal di gubuk reot, mendekam di balik jeruji, hakikatnya kita memiliki segala-galanya dalam kehidupan ini. Sebagaimana pengalaman Nabi Yusuf As. Yusuf berkata: "Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai dari pada memenuhi ajakan mereka kepadaku. dan jika tidak Engkau hindarkan dari padaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh." (QS. Yusuf (12) :
Sebaliknya, meskipun dunia dan seisinya berada di dalam genggaman kita, tetapi kita faqrul iman (miskin iman), maka sejatinya kita tidak memiliki apa-apa. Karena, kita tidak bisa memaknai dan menikmati kehidupan ini. Dunia yang luas tak bertepi ini terasa sempit. Dunia yang terang benderang ini terasa gelap gulita. Orang beriman sekalipun miskin harta, tetapi memiliki kekayaan jiwa (ghinan nafsi).
Oleh karena itu kita harus berjuang tanpa mengenal lelah, dengan tenaga, fikiran, potensi yang kita miliki untuk mencapai manisnya iman (halawatul iman). Betapapun tinggi gunung kita daki, lautan yang tidak bertepi kita arungi, semua untuk memperoleh kenikmatan spiritual (lazzatur ruhi), yang diserap dari iman itu. Karena, di tengah-tengah perjuangan itu Allah Swt akan menggantinya dengan dua surga. Surga di dunia dengan kehidupan yang bahagia (hayatun thayyibah) dan surga di akhirat, selamat dari siksa neraka.
Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan) di akhirat. Tidak ada perubahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar (QS. Yunus (10) : 62-64).
Namun, bagaimanakah iman yang sebenarnya, aqidah salimah (steril dari kontaminasi kemusyrikian) merujuk referensi Islam it?
Iman yang benar adalah keyakinan yang terhunjam di kedalaman hati, diucapkan dengan lisan, dan dibuktikan dengan seluruh anggota tubuh. Keyakinan bulat, tiada keraguan sedikit pun (al-yaqinu kulluhu). Dan mampu mempengaruhi orientasi kehidupan (ittijahul hayah). Iman tidak sekedar amal perbuatan, bukan pula sebatas pengetahuan tentang rukun Iman.
Iman bukan pula sekedar ucapan lisan seseorang yang mengaku bahwa dirinya orang beriman. Sebab, orang-orang munafik pun dengan lisannya menyatakan hal yang serupa, tetapi hatinya mengingkari statemennya sendiri. (QS. Al-Baqarah (2) : 8-9).
Iman pula tidak sebatas amal perbuatan an sich yang secara lahiriah merupakan ciri khusus perbuatan orang beriman. Sebab, orang-orang munafik pun tidak sedikit yang secara permukaan mengerjakan ibadah dan berbuat baik (fi'lul khoir), sedangkan hatinya kontradiksi dengan penampakan lahiriahnya. Apa yang dikerjakan tidak didasari kemurnian niat untuk mencari ridha Allah Swt (QS. An-Nisa (4) : 142). Iman juga bukan sekedar pengetahuan akan makna dan hakikat iman, tidak sedikit orang yang mendalami hakikat dan makna iman, tetapi mereka tetap saja ingkar (QS. An-Naml (27) : 14), (QS. Al-Baqarah (2) : 146).

Iman dan Kekayaan.
Orang beriman sadar bahwa apa yang dimilikinya hanya hak guna (pinjaman), bukan hak milik. Karena yang memilikinya adalah Allah Swt. Maka, dilandasi oleh keimanan ia ikhlas memberikan sesuatu, sekalipun pada saat akan mengeluarkan ada perasaan berat, tetapi keimanannnya itu mengantarkannya untuk rela memberi. Ia yakin dengan memberi, hakikatnya akan mendapatkan balasan yang lebih baik. Balasan itu tidak akan salah alamat, pasti akan mengenai dirinya dan orang-orang di sekitarnya. Justru infak yang paling tinggi nilainya adalah ketika akan dikeluarkan banyak sekali pertimbangannya, dan berat hati untuk memulainya.
Bahkan bersedia memberikan yang lebih banyak, melebihi dari yang diwajibkan, karena yakin bahwa apa yang diberikannya untuk menunaikan kewajiban kepada Allah Swt. Itulah yang kekal abadi. Sedangkan apa yang di genggaman tangannya akan hilang, lenyap tanpa bekas. Apa yang kita berikan untuk kebaikan, itulah milik kita sebenarnya.
Sebagai contoh kita nukilkan di sini pengalaman ruhani seorang sahabat Rasulullah Saw bernama Ubay bin Ka'ab:
“Aku pernah diutus oleh Rasulullah Saw mengumpulkan zakat. Dalam menjalankan tugas ini, aku berjumpa dengan seorang laki-laki yang akan dipungut zakat hartanya. Setelah dikumpulkan semua ternaknya, maka menurut pendapatku dia hanya berkewajiban membayar bintu makhadh (unta yang sangat mudah). Aku katakan kepadanya: Berikanlah seekor bintu makhadh, karena hanya itu zakat yang diwajibkan kepadamu. Dia menjawab: Unta seusia itu belum mempunyai susu dan belum dapat dikendarai. Inilah seekor onta muda, besar dan gemuk. Ambillah ia!. Aku menjawab: Aku tidak akan mengambil apa yang tidak diperintahkan kepadaku. Kini Rasulullah Saw tidak jauh dari kita. Engkau bisa menemui beliau, mengutarakan apa yang telah kau utarakan kepadaku ini. Kalau Rasulullah Saw menyetujui, tentu aku pun menerimanya. Sebaliknya, jika beliau tidak sepakat, maka aku pun menolaknya. Lelaki itu berkata: Boleh. Lalu kami pergi bersama dengan membawa onta tersebut. Kami menjumpai Rasulullah Saw, lalu laki-laki itu berkata: Ya Rasulullah! Utusanmu telah datang kepadaku. Demi Allah, sebelum ini, baik Rasulullah Saw sendiri maupun utusannya belum pernah mengambil zakat dari hartaku.
Lalu aku kumpulkan ternakku, hingga utusanmu berkata: Kewajibanmu hanya membayar bintu makhadh. Unta seperti itu belum mempunyai susu dan belum bisa dikendarai. Aku kemukakan kepadanya supaya dia mengambil seekor onta yang muda dan besar, tetapi dia tidak mau menerimanya. Dan inilah onta itu, kubawa kepadamu, ya Rasulullah, ambillah ia. Rasulullah Saw menjawab: Kewajibanmu hanya itu (bintu makhadh). Tetapi kalau engkau berbuat kebaikan dengan suka rela, niscaya Allah Swt akan memberi pahala kepadamu karenanya, dan kami pun menerimanya. Lelaki itu berkata: Inilah onta itu, ya Rasulullah! Telah kubawa kepadamu. Karena itu terimalah ia. Lalu Rasulullah Saw memerintahkan kepada utusannya itu untuk menerimanya dan mendoakan keberkahan hartanya." [HR. Abu Daud].
Al-Hamdulilllah, setelah bersedekah dan didoakan oleh manusia pilihan (al-Musthofa) itu, hartanya menjadi barakah, bertambah kebaikannya, semakin berlimpah, baik secara kuantitas dan kualitas. Keluarganya semakin harmonis, anak dan istrinya semakin patuh. Dia terhindarkan dari berbagai penyakit yang selama ini diidapnya. Karena sedekah itu bisa menolak bala' (Ash-Shadaqatu tadfa'ul bala'). Dia sering mendapatkan jalan keluar dari berbagai kesulitan yang ditemuinya. Bahkan, orang-orang terdekatnya semakin cinta, simpati, dan selalu membelanya. Hashshinuu amwalaku biz zakat (bentengilah harta kekayaanmu dengan zakat), meminjam istilah Umar bin Khathab.
Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (syurga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah (QS. Al-Lail (92) : 5-7).
Apabila kita dalam kondisi papa, keluarkan harta yang paling kita senangi, niscaya Allah Swt akan menghilangkan kemiskinan kita itu. Apabila kita memiliki kecukupan, keluarkanlah infaq, niscaya Allah Swt akan menambah kekayaan kita. Apabila kita kaya, gemarlah berinfaq dengan tulus, supaya semakin kaya. Dan apabila kita sedang sakit, berinfaklah, Insya Allah sakit itu akan segera disembuhkan oleh-Nya. Sedekah adalah solusi yang jitu untuk mengatasi berbagai kerumitan kehidupan kita. Semoga kita bisa mengambil 'ibrah (pelajaran), 'ubur (jembatan menuju puncak sukses) dari kisah tadi


Wallahu A’lam

Saturday, September 14, 2013

Menjaga Akhlak Kepada Allah SWT

Oleh : Muhammad Wahyudi/ PAI 5
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”. (Al-Ahzab: 21)
Mudah-mudahan Allah SWT yang Maha Mengetahui siapa diri kita yang sebenarnya, menolong kita agar dapat mengetahui kekurangan yang harus diperbaiki, memberitahu jalan yang harus ditempuh, dan memberikan karunia semangat terus-menerus sehingga kita tidak dikalahkan oleh kemalasan, tidak dikalahkan oleh kebosanan, dan tidak dikalahkan oleh hawa nafsu.
Dan mudah-mudahan pula warisan terbaik diri kita yang dapat diwariskan kepada keluarga, keturunan, dan lingkungan adalah keindahan akhlak kita. Karena ternyata keislaman seseorang tidak diukur oleh luasnya ilmu. Keimanan seseorang tidak diukur oleh hebatnya pembicaraan. Kedudukan seseorang disisi Allah SWT tidak juga diukur oleh kekuatan ibadahnya semata. Tapi semua kemuliaan seorang yang paling benar Islamnya, yang paling baik imannya, yang paling dicintai oleh Allah, yang paling tinggi kedudukannya dalam pandangan Allah dan yang akan menemani Rasulullah SAW ternyata sangat khas, yaitu orang yang paling mulia akhlaknya.
Walhasil sehebat apapun pengetahuan dan amal kita, sebanyak apapun harta kita, setinggi apapun kedudukan kita, jikalau akhlaknya rusak maka tidak bernilai. Kadang kita terpesona kepada topeng duniawi tapi segera sesudah tahu akhlaknya buruk, pesona pun akan pudar.
Yakinlah bahwa Rasulullah SAW diutus ke dunia ini adalah untuk menyempurnakan akhlak. Hal ini dinyatakan sendiri oleh beliau ketika menjawab pertanyaan seorang sahabatnya, "Mengapa engkau diutus ke dunia ini ya Rasul?". Rasul menjawab,
"Sungguh aku diutus menjadi Rasul tidak lain adalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia".
Sayangnya kalau kita mendengar kata akhlak seakan fokus pikiran kita hanya terbentuk pada senyuman dan keramahan. Padahal maksud akhlak yang sebenarnya jauh melampaui sekedar senyuman dan keramahan. Karenanya penjabaran akhlak dalam perilaku sehari-hari bukanlah suatu hal yang terpecah-pecah, semua terintegrasi dalam satu kesatuan utuh, termasuk bagaimana akhlak kita kepada Allah SWT.
Akhlak kita kepada Allah SWT harus dipastikan benar-benar bersih. Orang yang menjaga akhlaknya kepada Allah, hatinya benar-benar putih seperti putihnya air susu yang tidak pernah tercampuri apapun. Bersih sebersih-bersihnya. Bersih keyakinannya, tidak ada sekutu lain selain Allah. Tidak ada satu tetes pun di hatinya meyakini kekuatan di alam semesta ini selain kekuatan Allah SWT sehingga ia sangat jauh dari sifat munafik.
Bagaimanakah sifat orang munafik itu? Berikut ini kita kutif tulisan dari Imam Al Ghazali yang menuturkan ucapan Imam Hatim Al Ashom, seorang ulama yang shalih ketika mengupas perbedaan antara orang mukmim dengan orang munafik.
"Seorang mukmin senantiasa disibukan dengan bertafakur, merenung, mengambil pelajaran dari aneka kejadian apapun di muka bumi ini, sementara orang munafik disibukan dengan ketamakan dan angan-angan kosong terhadap dunia ini.
Seorang mukim berputus asa dari siapa saja dan kepada siapa saja kecuali hanya kepada Allah, sementara orang munafik mengharap dari siapa saja kecuali dari mengharap kepada Allah.
Seorang mukmin merasa aman, tidak gentar, tidak takut oleh ancaman siapa pun kecuali takut hanya kepada Allah karena dia yakin bahwa apapun yang mengancam dia ada dalam genggaman Allah, di lain pihak orang munafik justru takut kepada siapa saja kecuali takut kepada Allah, naudzhubilah, yang tidak dia takuti malah Allah SWT.
Seorang mukmin menawarkan hartanya demi mempertahankan agamanya, sementara seorang munafik menawarkan agamanya demi mempertahankan hartanya.
Seorang mukmin menangis karena malunya kepada Allah meskipun dia berbuat kebajikan, sementara seorang munafik tetap tertawa meskipun dia berbuat keburukan.
Seorang mukmin senang berkhalwat dengan menyendiri bermunajat kepada Allah, sementara seorang munafik senang berkumpul dengan bersukaria bercampur baur dengan khalayak yang tidak ingat kepada Allah SWT.
Seorang mukmin ketika menanam merasa takut jikalau merusak, sedangkan seorang munafik mencabuti seraya mengharapkan panen.
Seorang mukmin memerintahkan dan melarang sebagai siasat dan cara sehingga berhasil memperbaiki, larangan dan perintah seorang mukmin adalah upaya untuk memperbaiki sementara seorang munafik memerintah dan melarang demi meraih jabatan dan kedudukan sehingga dia malah merusak, naudzhubillah".
Nampak demikian jauh beda akhlak antara seorang mukmin dengan seorang munafik. Oleh karenanya kita harus benar-benar berusaha menjauhi perilaku-perilaku munafik seperti diuraikan di atas. Kita harus benar-benar mencegah diri kita untuk meyakini adanya penguasa yang menandingi kebesaran dan keagungan Allah. Kita harus yakin siapa pun yang punya jabatan di dunia ini hanyalah sekedar makhluk yang hidup sebentar dan bakal mati, seperti halnya kita juga. Jangan terperangah dan terpesona dengan kedudukan, pangkat, dan jabatan, sebab itu cuma tempelan sebentar saja, yang kalau tidak hati-hati justru itulah yang akan menghinakan dirinya.
Allah SWT Berfirman yg artinya:

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus seorang Rasul untuk setiap umat ( untuk menyerukan) :“Sembahlah Allah dan jauhilah thoghut.” Kemidian diantara mereka ada yg diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula yg teap dalam kesalahan. Maka berjalanlah kamu di bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang yg mendustakan (Rasul-rasul)”. (QS. An-Nahl: 36)

Bulatkan dan bersihkan hati kita hanya kepada Allah SWT dengan dibuktikan oleh kesungguhan ibadah dan amal kita. Sehingga tidak usah menyimpan keris sekecil apapun di rumah kita hanya untuk menjadi penolak bala. Allah SWT yang Maha agung dan Maha kuasa dapat menolong kita tanpa harus kita menyimpan jimat.
Dari Jabir RA berkata : Rashulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya orang yang paling saya kasihi dan yang paling dekat padaku majelisnya di hari kiamat ialah yang terbaik budi pekertinya.” (HR. Tirmidzi dengan sanad hasan. Diriwayatkan juga oleh Ahmad dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban. Lihat Ash shahihah Juz 2 hal 418-419).
Sebuah syair arab berbunyi :
“innamal umamul akhlaaqu maa baqiyat fa in hum dzahabat akhlaquhum dzahabu”
(sebenarnya suatu bangsa akan menjadi jaya dan terhormat selama bangsa itu memiliki akhlak yang luhur. Dan apabila bangsa telah kehilangan akhlaknya, maka akan hilang pulalah kejayaan dan kehormatannya)
Selanjutnya,  jika kita perhatikan negeri ini, kita bisa menemukan kenapa kehormaan negeri ini mulai hilang? ….jawabannya, karena kurangnya akhlak yang dimiliki oleh anak negeri ini. Korupsi bukannya malah dihilangkan, tapi malah jadi ikutan. Jika hidup dengan gaya hedonisme bukannya diendapkan, tapi malah ditunjukkan. Jika ini terus terjadi bias-bisa negeri ini akan makin kehilangan kejayaan dan kehormatannya. 

Gontor, Kampus Siman 14 September 2013

Sunday, September 8, 2013

Begadang Syar’i

Oleh : Faiq Nebukadnezar/ AF 6
Banyak orang beranggapan bahwa begadang itu hanya mempunyai nilai negative, karena bagi mereka, namanya begadang itu hanya menghambur-hamburkan waktu, yang tidak ada manfaatnya. Begadang malam memang tak lepas dari aktivitas kesia-siaan yang berujung pada kemubadziran waktu. Sebab, bila waktu tidak diisi dengan kebaikan, maka ia akan terisi dengan amalan-amalan yang sia-sia. Abdullah bin Abbas R.A menjelaskan alasan dimakruhkannya begadang malam seraya mengatakan, “Dimakruhkannya ngobrol diawal malam adalah tatkala turun firman Allah Ta’ala, “ Dengan menyombongkan diri terhadap Al-Qur’an itu dan mengucapkan perkataan-perkataan keji terhadapnya diwaktu kamu bercakap-cakap dimalam hari.” (Al-Mukminun (23) : 67). Yakni, Allah Ta’ala mencela orang-orang yang ngobrol yang tidak mengandung unsur ketaatan kepada Allah Ta’ala, baik perkataan yang tidak tentu arah atau kata yang menyakitkan.

Keikhlasan dalam Bekerja (Beribadah)

Oleh : Kharis Majid / PA 6

Pembicaraan tentang

Ucapan dan Perbuatan Tidak Jauh dari Isi Pikiran Seseorang

Oleh : Yusuf Mahmudi / PAI 6

Manusia dikatakan ada kehidupanya karena terdapat ruh, yang bersemayam didalam jasat atau tubuh. Kemudian bermula dari pikiranlah tubuh ini bergerak dan berbuat. Sehingga, jika yang terlintas dalam pikiran seseorang adalah suatu kebaikan, keutamaan, kemanfaatan, maka hasilnya adalah perbuatan yang mendatangkan kemaslahatan, begitupula sebaliknya. Karenanya, ulama klasik Abul Wafa Ali Ibnu Uqail dengan  kitabnya al-Funuun selalu mengarahkan pikirannya kepada hal-hal yang bermanfaat. Beliau mengatakan, “Sesungguhnya aku tak ingin membiarkan diriku membuang-buang waktu meski hanya sesaat dalam hidupku. Sampai-sampai apabila lidahku berhenti berdzikir atau berdiskusi, pandangan mataku juga berhenti membaca, segera aku mengaktifkan pikiranku kala beristirahat sambil berbaring. Ketika aku bangkit, pasti sudah terlintas sesuatu yang akan kutulis.” (Al-Muntazham,  Ibnu al-Jauzi).