Oleh: Sofyan Munawar / PMH 5
Orang beriman sadar bahwa apa yang
dimilikinya hanya hak guna (pinjaman), bukan hak milik. Karena yang memilikinya
adalah Allah Swt.
Kekayaan seorang mukmin yang paling
mahal dalam kehidupan ini adalah manisnya iman kepada Allah Swt. Jika kita
memilikinya, sekalipun kita miskin harta, pengaruh, jabatan, tinggal di gubuk
reot, mendekam di balik jeruji, hakikatnya kita memiliki segala-galanya dalam
kehidupan ini. Sebagaimana pengalaman Nabi Yusuf As. Yusuf berkata: "Wahai
Tuhanku, penjara lebih aku sukai dari pada memenuhi ajakan mereka kepadaku. dan
jika tidak Engkau hindarkan dari padaku tipu daya mereka, tentu aku akan
cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk
orang-orang yang bodoh." (QS. Yusuf (12) :
Sebaliknya, meskipun dunia dan seisinya
berada di dalam genggaman kita, tetapi kita faqrul iman (miskin iman), maka
sejatinya kita tidak memiliki apa-apa. Karena, kita tidak bisa memaknai dan
menikmati kehidupan ini. Dunia yang luas tak bertepi ini terasa sempit. Dunia
yang terang benderang ini terasa gelap gulita. Orang beriman sekalipun miskin
harta, tetapi memiliki kekayaan jiwa (ghinan nafsi).
Oleh karena itu kita harus berjuang
tanpa mengenal lelah, dengan tenaga, fikiran, potensi yang kita miliki untuk
mencapai manisnya iman (halawatul iman). Betapapun tinggi gunung kita daki,
lautan yang tidak bertepi kita arungi, semua untuk memperoleh kenikmatan
spiritual (lazzatur ruhi), yang diserap dari iman itu. Karena, di tengah-tengah
perjuangan itu Allah Swt akan menggantinya dengan dua surga. Surga di dunia
dengan kehidupan yang bahagia (hayatun thayyibah) dan surga di akhirat, selamat
dari siksa neraka.
Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah
itu tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih
hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka
berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan) di akhirat.
Tidak ada perubahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu
adalah kemenangan yang besar (QS. Yunus (10) : 62-64).
Namun, bagaimanakah iman yang
sebenarnya, aqidah salimah (steril dari kontaminasi kemusyrikian) merujuk
referensi Islam it?
Iman yang benar adalah keyakinan yang
terhunjam di kedalaman hati, diucapkan dengan lisan, dan dibuktikan dengan
seluruh anggota tubuh. Keyakinan bulat, tiada keraguan sedikit pun (al-yaqinu
kulluhu). Dan mampu mempengaruhi orientasi kehidupan (ittijahul hayah). Iman
tidak sekedar amal perbuatan, bukan pula sebatas pengetahuan tentang rukun
Iman.
Iman bukan pula sekedar ucapan lisan
seseorang yang mengaku bahwa dirinya orang beriman. Sebab, orang-orang munafik
pun dengan lisannya menyatakan hal yang serupa, tetapi hatinya mengingkari statemennya
sendiri. (QS. Al-Baqarah (2) : 8-9).
Iman pula tidak sebatas amal perbuatan
an sich yang secara lahiriah merupakan ciri khusus perbuatan orang beriman.
Sebab, orang-orang munafik pun tidak sedikit yang secara permukaan mengerjakan
ibadah dan berbuat baik (fi'lul khoir), sedangkan hatinya kontradiksi dengan
penampakan lahiriahnya. Apa yang dikerjakan tidak didasari kemurnian niat untuk
mencari ridha Allah Swt (QS. An-Nisa (4) : 142). Iman juga bukan sekedar
pengetahuan akan makna dan hakikat iman, tidak sedikit orang yang mendalami
hakikat dan makna iman, tetapi mereka tetap saja ingkar (QS. An-Naml (27) :
14), (QS. Al-Baqarah (2) : 146).
Iman dan Kekayaan.
Orang beriman sadar bahwa apa yang
dimilikinya hanya hak guna (pinjaman), bukan hak milik. Karena yang memilikinya
adalah Allah Swt. Maka, dilandasi oleh keimanan ia ikhlas memberikan sesuatu,
sekalipun pada saat akan mengeluarkan ada perasaan berat, tetapi keimanannnya
itu mengantarkannya untuk rela memberi. Ia yakin dengan memberi, hakikatnya akan
mendapatkan balasan yang lebih baik. Balasan itu tidak akan salah alamat, pasti
akan mengenai dirinya dan orang-orang di sekitarnya. Justru infak yang paling
tinggi nilainya adalah ketika akan dikeluarkan banyak sekali pertimbangannya,
dan berat hati untuk memulainya.
Bahkan bersedia memberikan yang lebih
banyak, melebihi dari yang diwajibkan, karena yakin bahwa apa yang diberikannya
untuk menunaikan kewajiban kepada Allah Swt. Itulah yang kekal abadi. Sedangkan
apa yang di genggaman tangannya akan hilang, lenyap tanpa bekas. Apa yang kita
berikan untuk kebaikan, itulah milik kita sebenarnya.
Sebagai contoh kita nukilkan di sini
pengalaman ruhani seorang sahabat Rasulullah Saw bernama Ubay bin Ka'ab:
“Aku pernah diutus oleh Rasulullah Saw
mengumpulkan zakat. Dalam menjalankan tugas ini, aku berjumpa dengan seorang
laki-laki yang akan dipungut zakat hartanya. Setelah dikumpulkan semua
ternaknya, maka menurut pendapatku dia hanya berkewajiban membayar bintu
makhadh (unta yang sangat mudah). Aku katakan kepadanya: Berikanlah seekor
bintu makhadh, karena hanya itu zakat yang diwajibkan kepadamu. Dia menjawab:
Unta seusia itu belum mempunyai susu dan belum dapat dikendarai. Inilah seekor
onta muda, besar dan gemuk. Ambillah ia!. Aku menjawab: Aku tidak akan mengambil
apa yang tidak diperintahkan kepadaku. Kini Rasulullah Saw tidak jauh dari
kita. Engkau bisa menemui beliau, mengutarakan apa yang telah kau utarakan
kepadaku ini. Kalau Rasulullah Saw menyetujui, tentu aku pun menerimanya.
Sebaliknya, jika beliau tidak sepakat, maka aku pun menolaknya. Lelaki itu
berkata: Boleh. Lalu kami pergi bersama dengan membawa onta tersebut. Kami
menjumpai Rasulullah Saw, lalu laki-laki itu berkata: Ya Rasulullah! Utusanmu
telah datang kepadaku. Demi Allah, sebelum ini, baik Rasulullah Saw sendiri
maupun utusannya belum pernah mengambil zakat dari hartaku.
Lalu aku kumpulkan ternakku, hingga
utusanmu berkata: Kewajibanmu hanya membayar bintu makhadh. Unta seperti itu
belum mempunyai susu dan belum bisa dikendarai. Aku kemukakan kepadanya supaya
dia mengambil seekor onta yang muda dan besar, tetapi dia tidak mau
menerimanya. Dan inilah onta itu, kubawa kepadamu, ya Rasulullah, ambillah ia.
Rasulullah Saw menjawab: Kewajibanmu hanya itu (bintu makhadh). Tetapi kalau
engkau berbuat kebaikan dengan suka rela, niscaya Allah Swt akan memberi pahala
kepadamu karenanya, dan kami pun menerimanya. Lelaki itu berkata: Inilah onta
itu, ya Rasulullah! Telah kubawa kepadamu. Karena itu terimalah ia. Lalu
Rasulullah Saw memerintahkan kepada utusannya itu untuk menerimanya dan
mendoakan keberkahan hartanya." [HR. Abu Daud].
Al-Hamdulilllah, setelah bersedekah dan
didoakan oleh manusia pilihan (al-Musthofa) itu, hartanya menjadi barakah,
bertambah kebaikannya, semakin berlimpah, baik secara kuantitas dan kualitas.
Keluarganya semakin harmonis, anak dan istrinya semakin patuh. Dia terhindarkan
dari berbagai penyakit yang selama ini diidapnya. Karena sedekah itu bisa
menolak bala' (Ash-Shadaqatu tadfa'ul bala'). Dia sering mendapatkan jalan
keluar dari berbagai kesulitan yang ditemuinya. Bahkan, orang-orang terdekatnya
semakin cinta, simpati, dan selalu membelanya. Hashshinuu amwalaku biz zakat
(bentengilah harta kekayaanmu dengan zakat), meminjam istilah Umar bin Khathab.
Adapun orang yang memberikan (hartanya
di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik
(syurga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah (QS. Al-Lail
(92) : 5-7).
Apabila kita dalam kondisi papa,
keluarkan harta yang paling kita senangi, niscaya Allah Swt akan menghilangkan
kemiskinan kita itu. Apabila kita memiliki kecukupan, keluarkanlah infaq,
niscaya Allah Swt akan menambah kekayaan kita. Apabila kita kaya, gemarlah
berinfaq dengan tulus, supaya semakin kaya. Dan apabila kita sedang sakit,
berinfaklah, Insya Allah sakit itu akan segera disembuhkan oleh-Nya. Sedekah
adalah solusi yang jitu untuk mengatasi berbagai kerumitan kehidupan kita.
Semoga kita bisa mengambil 'ibrah (pelajaran), 'ubur (jembatan menuju puncak
sukses) dari kisah tadi
Wallahu A’lam
0 comments:
Post a Comment