Thursday, October 17, 2013

Hakikat Tazkiatun Nafsi di dalam Diri Orang Beriman

Oleh: Sofyan Munawar / PMH 5

Orang beriman sadar bahwa apa yang dimilikinya hanya hak guna (pinjaman), bukan hak milik. Karena yang memilikinya adalah Allah Swt.
Kekayaan seorang mukmin yang paling mahal dalam kehidupan ini adalah manisnya iman kepada Allah Swt. Jika kita memilikinya, sekalipun kita miskin harta, pengaruh, jabatan, tinggal di gubuk reot, mendekam di balik jeruji, hakikatnya kita memiliki segala-galanya dalam kehidupan ini. Sebagaimana pengalaman Nabi Yusuf As. Yusuf berkata: "Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai dari pada memenuhi ajakan mereka kepadaku. dan jika tidak Engkau hindarkan dari padaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh." (QS. Yusuf (12) :
Sebaliknya, meskipun dunia dan seisinya berada di dalam genggaman kita, tetapi kita faqrul iman (miskin iman), maka sejatinya kita tidak memiliki apa-apa. Karena, kita tidak bisa memaknai dan menikmati kehidupan ini. Dunia yang luas tak bertepi ini terasa sempit. Dunia yang terang benderang ini terasa gelap gulita. Orang beriman sekalipun miskin harta, tetapi memiliki kekayaan jiwa (ghinan nafsi).
Oleh karena itu kita harus berjuang tanpa mengenal lelah, dengan tenaga, fikiran, potensi yang kita miliki untuk mencapai manisnya iman (halawatul iman). Betapapun tinggi gunung kita daki, lautan yang tidak bertepi kita arungi, semua untuk memperoleh kenikmatan spiritual (lazzatur ruhi), yang diserap dari iman itu. Karena, di tengah-tengah perjuangan itu Allah Swt akan menggantinya dengan dua surga. Surga di dunia dengan kehidupan yang bahagia (hayatun thayyibah) dan surga di akhirat, selamat dari siksa neraka.
Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan) di akhirat. Tidak ada perubahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar (QS. Yunus (10) : 62-64).
Namun, bagaimanakah iman yang sebenarnya, aqidah salimah (steril dari kontaminasi kemusyrikian) merujuk referensi Islam it?
Iman yang benar adalah keyakinan yang terhunjam di kedalaman hati, diucapkan dengan lisan, dan dibuktikan dengan seluruh anggota tubuh. Keyakinan bulat, tiada keraguan sedikit pun (al-yaqinu kulluhu). Dan mampu mempengaruhi orientasi kehidupan (ittijahul hayah). Iman tidak sekedar amal perbuatan, bukan pula sebatas pengetahuan tentang rukun Iman.
Iman bukan pula sekedar ucapan lisan seseorang yang mengaku bahwa dirinya orang beriman. Sebab, orang-orang munafik pun dengan lisannya menyatakan hal yang serupa, tetapi hatinya mengingkari statemennya sendiri. (QS. Al-Baqarah (2) : 8-9).
Iman pula tidak sebatas amal perbuatan an sich yang secara lahiriah merupakan ciri khusus perbuatan orang beriman. Sebab, orang-orang munafik pun tidak sedikit yang secara permukaan mengerjakan ibadah dan berbuat baik (fi'lul khoir), sedangkan hatinya kontradiksi dengan penampakan lahiriahnya. Apa yang dikerjakan tidak didasari kemurnian niat untuk mencari ridha Allah Swt (QS. An-Nisa (4) : 142). Iman juga bukan sekedar pengetahuan akan makna dan hakikat iman, tidak sedikit orang yang mendalami hakikat dan makna iman, tetapi mereka tetap saja ingkar (QS. An-Naml (27) : 14), (QS. Al-Baqarah (2) : 146).

Iman dan Kekayaan.
Orang beriman sadar bahwa apa yang dimilikinya hanya hak guna (pinjaman), bukan hak milik. Karena yang memilikinya adalah Allah Swt. Maka, dilandasi oleh keimanan ia ikhlas memberikan sesuatu, sekalipun pada saat akan mengeluarkan ada perasaan berat, tetapi keimanannnya itu mengantarkannya untuk rela memberi. Ia yakin dengan memberi, hakikatnya akan mendapatkan balasan yang lebih baik. Balasan itu tidak akan salah alamat, pasti akan mengenai dirinya dan orang-orang di sekitarnya. Justru infak yang paling tinggi nilainya adalah ketika akan dikeluarkan banyak sekali pertimbangannya, dan berat hati untuk memulainya.
Bahkan bersedia memberikan yang lebih banyak, melebihi dari yang diwajibkan, karena yakin bahwa apa yang diberikannya untuk menunaikan kewajiban kepada Allah Swt. Itulah yang kekal abadi. Sedangkan apa yang di genggaman tangannya akan hilang, lenyap tanpa bekas. Apa yang kita berikan untuk kebaikan, itulah milik kita sebenarnya.
Sebagai contoh kita nukilkan di sini pengalaman ruhani seorang sahabat Rasulullah Saw bernama Ubay bin Ka'ab:
“Aku pernah diutus oleh Rasulullah Saw mengumpulkan zakat. Dalam menjalankan tugas ini, aku berjumpa dengan seorang laki-laki yang akan dipungut zakat hartanya. Setelah dikumpulkan semua ternaknya, maka menurut pendapatku dia hanya berkewajiban membayar bintu makhadh (unta yang sangat mudah). Aku katakan kepadanya: Berikanlah seekor bintu makhadh, karena hanya itu zakat yang diwajibkan kepadamu. Dia menjawab: Unta seusia itu belum mempunyai susu dan belum dapat dikendarai. Inilah seekor onta muda, besar dan gemuk. Ambillah ia!. Aku menjawab: Aku tidak akan mengambil apa yang tidak diperintahkan kepadaku. Kini Rasulullah Saw tidak jauh dari kita. Engkau bisa menemui beliau, mengutarakan apa yang telah kau utarakan kepadaku ini. Kalau Rasulullah Saw menyetujui, tentu aku pun menerimanya. Sebaliknya, jika beliau tidak sepakat, maka aku pun menolaknya. Lelaki itu berkata: Boleh. Lalu kami pergi bersama dengan membawa onta tersebut. Kami menjumpai Rasulullah Saw, lalu laki-laki itu berkata: Ya Rasulullah! Utusanmu telah datang kepadaku. Demi Allah, sebelum ini, baik Rasulullah Saw sendiri maupun utusannya belum pernah mengambil zakat dari hartaku.
Lalu aku kumpulkan ternakku, hingga utusanmu berkata: Kewajibanmu hanya membayar bintu makhadh. Unta seperti itu belum mempunyai susu dan belum bisa dikendarai. Aku kemukakan kepadanya supaya dia mengambil seekor onta yang muda dan besar, tetapi dia tidak mau menerimanya. Dan inilah onta itu, kubawa kepadamu, ya Rasulullah, ambillah ia. Rasulullah Saw menjawab: Kewajibanmu hanya itu (bintu makhadh). Tetapi kalau engkau berbuat kebaikan dengan suka rela, niscaya Allah Swt akan memberi pahala kepadamu karenanya, dan kami pun menerimanya. Lelaki itu berkata: Inilah onta itu, ya Rasulullah! Telah kubawa kepadamu. Karena itu terimalah ia. Lalu Rasulullah Saw memerintahkan kepada utusannya itu untuk menerimanya dan mendoakan keberkahan hartanya." [HR. Abu Daud].
Al-Hamdulilllah, setelah bersedekah dan didoakan oleh manusia pilihan (al-Musthofa) itu, hartanya menjadi barakah, bertambah kebaikannya, semakin berlimpah, baik secara kuantitas dan kualitas. Keluarganya semakin harmonis, anak dan istrinya semakin patuh. Dia terhindarkan dari berbagai penyakit yang selama ini diidapnya. Karena sedekah itu bisa menolak bala' (Ash-Shadaqatu tadfa'ul bala'). Dia sering mendapatkan jalan keluar dari berbagai kesulitan yang ditemuinya. Bahkan, orang-orang terdekatnya semakin cinta, simpati, dan selalu membelanya. Hashshinuu amwalaku biz zakat (bentengilah harta kekayaanmu dengan zakat), meminjam istilah Umar bin Khathab.
Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (syurga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah (QS. Al-Lail (92) : 5-7).
Apabila kita dalam kondisi papa, keluarkan harta yang paling kita senangi, niscaya Allah Swt akan menghilangkan kemiskinan kita itu. Apabila kita memiliki kecukupan, keluarkanlah infaq, niscaya Allah Swt akan menambah kekayaan kita. Apabila kita kaya, gemarlah berinfaq dengan tulus, supaya semakin kaya. Dan apabila kita sedang sakit, berinfaklah, Insya Allah sakit itu akan segera disembuhkan oleh-Nya. Sedekah adalah solusi yang jitu untuk mengatasi berbagai kerumitan kehidupan kita. Semoga kita bisa mengambil 'ibrah (pelajaran), 'ubur (jembatan menuju puncak sukses) dari kisah tadi


Wallahu A’lam

0 comments:

Post a Comment