Sunday, September 8, 2013

Adab dan Keutamaan Menuntut Ilmu

Oleh : Departemen Publikasi


Adab dalam menuntut ilmu adalah perkara yang sangat penting, maka dari itu para ulama senantiasa memperhatikan adab-adab tersebut.
                Suatu ketika Imam Laits Bin Sa’ad melihat para penuntut hadits, kemudian beliau melihat ada kekurangan dalam adab mereka, maka beliau berkata: “Apa ini!, sungguh belajar adab walaupun sedikit lebih kalian butuhkan dari pada kalian belajar banyak ilmu". (Al-Jami’:1/405)
Berkata Abu Bakar Bin Al-Muthowi’i: “Saya keluar masuk di rumah Abu Abdillah (Imam Ahmad Bin Hambal) selama 12 tahun sedangkan beliau sedang membacakan kitab Musnad kepada anak-anaknya. Dan selama itu saya tidak pernah menulis satu hadits pun dari beliau, hal ini disebabkan karena saya datang hanya untuk belajar akhlaq dan adab beliau”. (Siyar A‘lamun Nubala’:11/316)

Al-Khatib Al-Baghdadi menyebutkan sanadnya kepada Malik bin Anas, dia berkata bahwa Muhammad bin Sirrin berkata (-rahimahullah-): “Mereka dahulu mempelajari adab seperti mempelajari ilmu”. (Hilyah: 17. Jami’ li Akhlaqir-Rawi wa Adabis-Sami’ 1/49)
                Berkata Abullah bin Mubarak: “Berkata kepadaku Makhlad bin Husain -rahimahullah-: “Kami lebih butuh kepada adab walaupun sedikit daripada hadits walaupun banyak”. (Jami’ li Akhlaqir-Rawi wa Adabis-Sami’ 1/80)
 Mengapa demikian ucapan para ulama tentang adab? Tentunya karena ilmu yang masuk kepada seseorang yang memiliki adab yang baik akan bermafaat baginya dan kaum muslimin.
                Berkata Abu Zakariya Yaha bin Muhammad Al-Anbari -rahimahullah-: “Ilmu tanpa adab seperti api tanda kayu bakar sedangkan adab tanpa ilmu seperti jasad tanpa ruh”. (Jami’ li Akhlaqir-Rawi wa Adabis-Sami’ 1/80)
 Adab menuntut ilmu sangat banyak, diantaranya yang paling penting adalah:
1. Menuntut ilmu adalah ibadah.
 Dan ibadah tidak akan diterima oleh Allah kecuali dengan dua syarat:
a. Ikhlas karena untuk mencari ridho Allah ta’ala.
“Dan tidaklah mereka diperintah kecuali untuk beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan semua agama kepadaNya”(Al-Bayyinah:5).
 Maka ketika Al-Fudhail bin ‘Iyadh menafsirkan firman Allah ‘Azza wa Jalla:
“…untuk menguji siapa di antara kamu yang paling baik amalnya.” (QS. Al-Mulk: 2).
 Beliau berkata, “Yakni, yang paling ikhlas dan paling benar. Sesungguhnya amal itu apabila ikhlas tapi tidak benar maka tidak akan diterima; dan apabila benar tetapi tidak ikhlas juga tidak akan diterima. Jadi harus ikhlas dan benar.
Suatu amalan dikatakan ikhlas apabila dilakukan karena Allah, dan yang benar itu apabila sesuai Sunnah Rasulullah sholallohu’alaihi wasallam.” (Kitab Jami’ Al ‘Ulum wa Al Hikam I/36).
 Ikhlas ini mahal dan berat, makanya para sahabat dahulu berusaha bagaimana supaya ikhlas. Maka sebagaimana perkataan Imam Ats-sauri :”idak ada yang lebih sulit bagi diriku kecuali niatku” (mengikhlaskan niat).
"Barangsiapa yang menuntut ilmu yang seharusnya hanya ditujukan untuk mencari wajah Allah 'Azza wa Jalla tetapi dia justru berniat untuk meraih bagian kehidupan dunia maka dia tidak akan mencium bau surga pada hari kiamat" (HR. Imam Ahmad, Abu Dawud dishahihkan oleh Al-Hakim).
b. Mutaba’ah (Mengikuti petunjuk Rosulullah).
“Katakanlah (wahai Muhammad) jika kalian mencintai Allah maka ikutilah aku niscaya Allah akan mencintai dan mengampuni dosa-dosa kalian.” (Ali ‘Imron:31).
Rosulullah bersabda : “Barangsiapa mengamalkan suatu amalan tanpa petunjuk kami maka amalan tersebut tertolak”. (H.R Muslim).
2. Berjalan diatas metode para Ulama Salaf (Ahlus Sunah Wal Jama’ah).
 Muhamad Bin Sirin berkata : “Sesungguhnya ilmu adalah agama maka lihatlah dari mana kalian mengambil agama kalian”. (Muqodimah Shohih Muslim:1/14).
 3. Hati-hati dalam memilih pengajar dan guru.
Imam Malik Bin Anas berkata: “Tidak boleh mengambil ilmu dari empat orang: Orang yang bodoh walaupun hafalannya banyak (bagaikan orang yang berilmu), Ahlil bid’ah yang menyeru kepada kesesatannya, Orang yang terbiasa berdusta ketika berbicara dengan manusia walaupun dia tidak berdusta ketika menyampaikan ilmunya, dan Orang yang sholeh, mulia dan rajin beribadah jika dia tidak hafal (dan faham) apa yang akan disampaikan”. (Siyar ‘Alamun Nubala’:8/61)
Imam Al-Khotib Al-Baghdadi berkata: “Seyogyanya bagi para penuntut ilmu untuk belajar kepada ulama’ yang ma’ruf akan agama dan amanahnya”. (Al-Faqif Wal Mutafaqqif:2/96)
4. Menghiasi diri dengan Taqwa, Takut dan Muroqobah (merasa dalam awasan Allah).
Wahai orang-orang yang beriman! Jika kalian bertaqwa kepada Allah maka niscaya Allah akan memberikan kepada kalian Furqon (ilmu sebagai pembeda) dan juga Allah akan hapuskan dosa-dosa kalian. (Al-Anfal:29).
Imam Ahmad berkata: “Pondasi ilmu agama adalah perasaan takut kepada Allah”. (Hilyah:13)
5. Mengamalkan ilmu yang telah dipelajari sekuat tenaga.
Hal ini sangat penting karena ilmu syar’i yang telah dipelajari adalah untuk diamalkan, bukan sekedar untuk dihafalkan. Para ulama menasehati kita bahwa menghafal ilmu dengan cara mengamalkannya. Hendaklah seorang penuntut ilmu mencurahkan perhatiannya untuk menghafalkan ilmu syar’i ini dengan mengamalkannya dan ittiba’. Sebagian Salaf mengatakan, “Kami biasa memohon bantuan dalam menghafalkan ilmu dengan cara mengamalkannya.”
Allah Ta’ ala berfirman:
 “Dan katakanlah: ‘Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu…” (QS. At-Taubah: 105).

6. Sabar dalam menuntutnya.
Imam Yahya Bin Abi Katsir berkata : “Ilmu tidak diperoleh dengan jiwa yang enak (santai)”. ( Al-Jami’ : 1/91)
Imam As-Syafi’I berkata: “Seseorang Tidak akan sampai pada ilmu ini sampai ia ditimpa kefakiran (kemiskinan), dan kefaqiran tersebut lebih ia utamakan dari pada yang lainnya”. (Siyar:10/89)
Imam Abu Ahmad Nasr Bin Ahmad Bin Abbas Al-‘Iyadhi berkata: “Tidak akan memperoleh ilmu ini kecuali orang yang menutup warungnya, menghancurkan sawahnya, meninggalkan teman-temannya, dan meninggal dunia (wafat) salah satu diantara keluarganya tetapi ia tidak bisa menghadiri jenazahnya”. (Al-Jami’ Li Adabir Rowi no:1571)
7. Hendaknya menghiasi dirinya dengan akhlaq yang mulia.
 Imam Al-Hasan Al-Bashri berkata : “Sesungguhnya seseorang jika menuntut ilmu, maka tidaklah berjalan beberapa waktu kecuali akan nampak pengaruh ilmu tersebut pada khusyu’nya, mata, lisan, tangan, sholat, dan zuhudnya”. (Al-Jami’:1/60)
8. Senantiasa meningkatkan semangat dalam menuntut ilmu.
Imam Ibnul Jauzi berkata: “Selayaknya bagi orang yang berakal untuk mencurahkan semua kemampuan dia (dalam menggapai cita-cita). Jika seandainya manusia mampu naik ke langit, maka kamu akan melihat bahwa orang yang paling hina adalah orang yang senantiasa puas dengan bumi.
Imam asy-Syafi’i rahimahullaah pemah mengatakan dalam sya’irnya,
9. Mengikat ilmu dengan menulis dan sering Muroja’ah (mengulang-ulang) hafalan.
Dari Abdullah Bin Amr, Rosulullah bersabda: “Ikatlah ilmu!”, para Sahabat berkata: “Wahai Rosulullah apa pengikat ilmu?”. Beliau bersabda: “Tulisan”. (dihasankan oleh Syaikh Salim Bin Ied Al-Hilali dalam Manhajul Ambiya’ Fi Tazkiyatun Nufus:120).
Imam Asy-Syafi’i berkata:
Ilmu bagaikan binatang buruan sedang tulisan adalah tali kekang.
Ikatlah binatang buruan kalian dengan tali yang kokoh lagi kencang.
10. Berdo’a kepada Allah ta’ala agar mendapatkan ilmu yang bermanfaat.
 Diantara do’a yang Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ucapkan adalah:
 “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu ilrnu yang bermanfaat, rizki yang halal, dan amal yang diterima.”
 Juga do’a beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
 “Ya Allah, berikanlah manfaat kepadaku dengan apa-apa yang Engkau ajarkan kepadaku, dan ajarkanlah aku apa-apa yang bermanfaat bagiku. Dan tambahkanlah ilmu kepadaku.”
 [Hadits shahih: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 3599]
11. Mengajarkan ilmu yang sudah didapatkan.
Ibnu ‘Abbas (wafat th. 68 H) radhiyallaahu ‘anhuma berkata, “Lakukanlah ketaatan kepada Allah, takutlah berbuat maksiat kepada-Nya, dan suruhlah keluarga kalian berdzikir, niscaya Allah akan menyelamatkan kalian dari Neraka.”

12. Menghormati gurunya.
Imam An-Nawawi berkata: “Hendaknya orang yang ingin bertanya, ia beradab kepada muftinya (seorang ulama yang akan ditanya) dan menghormatinya dalam berbicara dengannya, dan hendaknya dia tidak menuding dengan jarinya kearah muka gurunya. Demikian juga tidak boleh berkata: ‘apa yang kamu hafal tentang masalah ini?’, atau berkata: ‘apa madzab gurumu atau Imam Syafi’i dalam masalah ini?’.
13. Rihlah ( safar ) untuk menuntut ilmu.
Abu Sa’id Al-Khudri berkata: “Akan datang kepada kalian manusia untuk menuntut ilmu. Maka jika kalian nanti melihatnya, katakanlah kepada mereka: ‘Marhaban-Marhaban (selamat datang) wahai para wasiat Rosulillah’ dan puaskanlah mereka!”. Maka ditanyakan kepada Hakam (Seorang Rowi Hadits) : ‘apa maksud puaskanlah mereka?’ beliau berkata: “Ajarilah mereka”. (H.R Ibnu Majah dan dishohihkan oleh Syaikh Albani dalam Shohih Ibnu Majah:201).
14. Senantiasa menjaga adab-adab dalam mejelis.
Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “Apabila engkau menghadiri majlis ilmu, maka janganlah kehadiranmu melainkan untuk menambah ilmu dan pahala, bukannya hadir dengan kesombongan, mencari kesalahan untuk engkau sebarkan atau sesuatu yang ganjil untuk engkau beberkan. Karena ini adalah perbuatan orang-orang yang rendah dan tidak akan beruntung dalam ilmu selama-selamanya”.(Al-Akhlak was Sair fi Mudaawaatin Nafus halaman 92)
15. Mengumpulkan kitab dan gemar dalam membacanya.
Maka dari itu hendaknya engkau kuatkan ilmumu dengan kitab, dan ketahuilah bahwa setiap kitab saling melengkapi sehingga satu kitab tidak akan mencukupi dari yang lainya. Dan hendaknya kamu memilih kitab-kitab yang bermanfaat, tetapi jangan engkau penuhi perpustakaanmu dengan kitab-kitab yang akan mengotori pikiranmu dari kitab-kitab yang tidak bermanfaat apalagi kitab-kitab Ahli Bid’ah, karena ini semua bagaikan racun yang mematikan”. (Hilyah:75-76).

PERKARA YANG HARUS DIJAUHI BAGI PENUNTUT ILMU
1. Menuntut ilmu bukan karena Allah.
 Dari Abu Huroiroh, Rosulullah bersabda: “Barang siapa menuntut ilmu yang seharusnya diniatkan untuk mencari ridho Allah, tetapi ia tidak menuntutnya kecuali karena untuk menggapai kenikmatan dunia, maka ia tidak akan mencium bau surga di hari kiamat”. (H.R Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah dishohihkan oleh Hakim dan Dzahabi)
2. Meningalkan amal.
Ali Bin Abi Tholib berkata: “Ilmu senantiasa memanggil amal, jika amal menjawab panggilannya maka ilmu akan diam dan tetap, tetapi jika amal tidak menjawabnya maka ilmu tersebut akan pergi”. (Jami’ Bayanil Ilmi:2/11)
3. Perbuatan dosa dan maksiat.
Abdullah Bin Mas’ud berkata: “Sungguh saya mengira seseorang lupa terhadap ilmu yang pernah ia pelajari disebabkan perbuatan dosa yang ia lakukan”. (Al-Jami’:1/196)
4. Belajar hanya mengandalkan buku (Otodidak).
Para ulama sejak dahulu berkata: “Barang siapa yang gurunya adalah kitabnya, maka kesalahannya lebih banyak dari kebenaranya”. (‘Awa’iqut Tholab:26)
5. Menghabiskan waktu tanpa faedah.
Rosullah bersabda: “Diantara tanda kebaikan islam seseorang adalah meninggalkan perkara yang tidak ada manfaatnya”. (H.R Tirmidzi dan dihasankan oleh imam Nawawi)
6. Tergesa-gesa untuk mendapatkan hasilnya.
Berkata Al-Ma’mun : “Sugguh sangat aneh ketika ada salah seorang penuntut ilmu belajar cuma tiga hari kemudian berkata: ‘saya adalah termasuk ulama ahli hadits”. (Siyar ‘Alamun Nubala’:10/89)
 7. Tidak bertahap dalam belajar ilmu.
Allah berfirman: {Berkatalah orang-orang yang kafir: “Mengapa Al-Qur’an tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?”. Demikianlah (Kami turunkan berangsur-angsur) supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakanya kepadamu secara Tartil (teratur dan benar) }. (Al-Furqon:32).
8. Sifat sombong dan ujub.
 Imam Mujahid berkata: “Tidak akan menuntut ilmu orang yang pemalu dan orang yang sombong”. (H.R Bukhori).
9. Cinta akan ketenaran dan menampakan dirinya sebagai orang yang berilmu.
Syaikh Utsaimin berkata: “Dan perkara yang wajib dijauhi oleh penuntut ilmu adalah sikap menampakan ilmunya sebelum ia menjadi orang yang layak”. (Kitabul Ilmi:81).
10. Sifat hasad (dengki atau iri).
Syaikul Islam berkata: “Telah dikatakan bahwa jasad tidak akan luput dari sifat hasad, tetapi orang yang mulia senantiasa menyembunyikannya (menepisnya), sedang orang yang hina adalah orang yang selalu menampakkanya”. (Majmu’ Fatawa:10/124-125).
11. Putus asa dan meremehkan diri sendiri.
Imam Al-‘Askari berkata: “Dahulu hafalan adalah perkara yang paling susah bagiku ketika saya pertama kali menuntut ilmu, kemudian saya paksa diri untuk membiasakanya sampai menjadi mudah bagiku, bahkan aku menghafal Sya’ir Ru’bah dalam satu malam padahal sya’ir ini sekitar 200 bait”. ( Al-Hattsu ‘Ala Tholabil ‘Ilmi:71).
12. Taswif (Berangan-angan belaka dan menunda waktu).
 Para ulama salaf berkata: “Taswif termasuk pasukan iblis”. (Iqtidho’ul Ilmi Al-‘Amal:114).
 Ibnul Qoyyim berkata: “Sesungguhnya angan-angan belaka adalah modal utama bagi orang-orang yang rugi”. (Madarus Salikin:1/456-457).
13. Ta’assub terhadap salah seorang guru atau golongan.
 Sebagian orang bergabung dengan suatu golongan, kemudian ia mengokohkan pendapat kelompok tersebut, berdalih dengan dalil-dalil mereka walaupun terkadang dalil tersebut merupakan bantahan terhadap mereka sendiri.
14. Memuji diri dan bangga dengan pujian.

Para ulama berkata: “Orang yang berakal adalah orang yang mengetahui kadar dirinya dan tidak terpedaya dengan pujian orang-orang yang tidak mengetahuinya”. (Dzail Thobaqot Hanabilah:1/148).
 15. Tidak berkata tentang sesuatu yang belum diketahui.
Al-Qosim Bin Muhamad suatu ketika ditanya, maka beliau menjawab: “Saya tidak tahu”. Kemudian beliau berkata: “Demi Allah jika seandainya seseorang hidup dalam keadaan bodoh asalkan ia mengetahui hak-hak Allah yang wajib ia tunaikan, ini lebih mulia dari pada orang yang berkata tentang apa yang ia tidak mengetahuinya”. ( Jami’ Bayanil Ilmi:2/53).

0 comments:

Post a Comment