Di antara hal yang menyibukkan hati kaum
muslimin adalah mencari rizki. Dan menurut pengamatan, sebagian besar kaum
muslimin memandang bahwa berpegang dengan Islam akan mengurangi rizki mereka.
Kemudian tidak hanya sebatas itu, bahkan lebih parah dan menyedihkan bahwa ada
sejumlah orang yang masih mau menjaga sebagian kewajiban syari’at Islam tetapi
mengira bahwa jika ingin mendapatkan kemudahan di bidang materi dan kemapanan
ekonomi hendaknya menutup mata dari hukum-hukum Islam, terutama yang berkenaan
dengan hukum halal dan haram.
Mereka itu lupa atau berpura-pura lupa bahwa Allah men-syari’atkan agamaNya
hanya sebagai petunjuk bagi ummat manusia dalam perkara-perkara kebahagiaan di
akhirat saja. Padahal Allah mensyari’atkan agama ini juga untuk menunjuki
manusia dalam urusan kehidupan dan kebahagiaan mereka di dunia.
Sebagaimana Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari
Anas Radhiallaahu anhu , ia berkata:
كَانَ أَكْثَرُ دُعَاءِ النَّبِيِّ: رَبَّنَا
آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ
النَّارِ.
“Sesungguhnya do’a yang sering diucapkan Nabi adalah, “Wahai Tuhan Kami’
karuniakanlah kepada kami kebaikan di dunia dan di akhirat, dan jagalah kami
dari siksa api Neraka”. (Shahihul Al-Bukhari, Kitabud Da’awat, Bab Qaulun
Nabi Rabbana Aatina fid Dunya Hasanah, no. Hadist 6389, II/191).
Di antara
sebab terpenting diturunkannya rizki adalah istighfar (memohon ampun)
dan taubat kepada Allah. Sebagaimana firman Allah tentang Nuh AS yang
berkata kepada kaumnya:
“Maka aku katakan kepada mereka, ‘Mohon ampunlah kepada Tuhanmu’,
sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan
kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu dan mengadakan
untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (Nuh:
10-12)
Yang dimaksud istighfar dan taubat di sini bukan hanya sekedar diucap di lisan
saja, tidak membekas di dalam hati sama sekali, bahkan tidak berpengaruh dalam
perbuatan anggota badan. Tetapi yang dimaksud dengan istighfar di sini adalah
sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ar-Raghib Al-Asfahani adalah “Meminta (ampun)
dengan disertai ucapan dan perbuatan dan bukan sekedar lisan semata.”
Sedangkan makna taubat sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Ar-Raghib
Al-Asfahani adalah meninggalkan dosa karena keburukannya, menyesali dosa yang
telah dilakukan, berkeinginan kuat untuk tidak mengulanginya dan berusaha
melakukan apa yang lebih baik (sebagai ganti). Jika keempat hal itu telah
dipenuhi berarti syarat taubatnya telah sempurna.
Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh
Imam Ahmad, Abu Daud, An-Nasa’i Ibnu Majah dan Al-Hakim dari Abdullah bin Abbas
ia berkata, Rasulullah bersabda:
مَنْ أَكْثَرَ اْلاِسْتِغْفَارَ جَعَلَ اللهُ
مِنْ كُلِّ هَمٍّ فَرَجًا وَمِنْ كُلِّ ضِيْقٍ مَخْرَجًا وَرَزَقَهُ مِنْ حَيْثُ
لاَ يَحْتَسِبُ.
“Barangsiapa memperbanyak istighfar (mohon ampun kepada Allah), niscaya
Allah menjadikan untuk setiap kesedihannya jalan keluar dan untuk setiap
kesempitannya kelapangan dan Allah akan memberikan rizki (yang halal) dari arah
yang tidak disangka-sangka.” (Dishahihkan oleh Imam Al-Hakim (AlMustadrak,
4/262) dan Syaikh Ahmad Muhammad Syaikh (Hamisy Al-Musnad, 4/55)
Dan pada surat Hud di ayat yang lain Allah
juga berfirman:
“Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya
(jika kamu mengerjakan yang demikian (niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang
baik (terus menerus) kepadamu sampai pada waktu yang telah ditentukan, dan Dia
akan memberi kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan)
keutamaannya. Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya aku takut akan ditimpa
siksa hari kiamat.” (Hud: 3)
Imam Al-Qurtubi menyebutkan dari Ibnu
Shabih, bahwasannya ia berkata: “Ada seorang laki-laki mengadu kepada Al-Hasan
Al-Bashri tentang kegersangan (bumi) maka beliau berkata kepadanya, Beristighfarlah
kepada Allah! Yang lain mengadu kepadanya tentang kemiskinan, maka beliau
berkata kepadanya, Beristighfarlah kepada Allah! Yang lain lagi berkata
kepadanya, ’Do’akanlah (aku) kepada Allah, agar ia memberiku anak!!’ maka
beliau mengatakan kepadanya, ‘Beristighfar kepada Allah! Dan yang
lainnya lagi mengadu kepadanya tentang kekeringan kebunnya maka beliau
mengatakan (pula),’Beristighfarlah kepada Allah!.
Bukan
hanya beristigfar dan bertaubat saja bisa memperluas rizki, tetapi dengan bertawakkal
juga dapat memperluas rizki. Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam memberikan
contoh tentang bertawakkal yang sesungguhnya dengan bersabda:
لَوْ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَوَكَلُوْنَ عَلَى
اللهِ حَقَّ تَوَكُلِّهِ لَرُزِقْتُمْ كَمَا تُرْزَقُ الطَّيْرُ تَغْدُو خِمَاصًا
وَتَرُحُ بِطَانًا (رواه الترمذى).
“Sungguh seandainya kalian bertawakkal kepada
Allah sebenar-benar tawakal niscaya kalian akan diberikan rizki sebagai-mana
rizki-rizki burung-burung, mereka berangkat pergi dalam keadaan lapar, dan
pulang sore hari dalam keadaan kenyang” (HR. Timidzi No. 2344).
Silaturahim juga menjadi pintu pembuka rizki adalah
karena sabda Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam:
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ،
وَاَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِيْ أَثَرِهِ فَلْيِصِلْ رَحِمَهُ.
“Siapa yang senang untuk dilapangkan rizkinya
dan diakhirkan ajalnya (dipanjangkan umurnya) maka hendaklah ia menyambung
(tali) silaturahmi”. (HR. Bukhari No. 5985).
Silaturahim ini menyangkut pula kerabat yang belum Islam atau yang bermaksiat, dengan usaha menyadarkan mereka, bukan mendukung kemungkaran atau kemaksiatannya. Namun bila mereka semakin merajalela dengan cara silaturahim ini maka menjauhi adalah yang terbaik, namun tetap kita mohonkan hidayah.
Silaturahim ini menyangkut pula kerabat yang belum Islam atau yang bermaksiat, dengan usaha menyadarkan mereka, bukan mendukung kemungkaran atau kemaksiatannya. Namun bila mereka semakin merajalela dengan cara silaturahim ini maka menjauhi adalah yang terbaik, namun tetap kita mohonkan hidayah.
Empat alasan yang akan ditolak
Allah SWT
Di hari kiamat kelak
Allah akan menolak alasan empat
golongan :
1.
Menolak alasan
orang kaya yang berkata “kekayaan itu telah meyebabkan aku sibuk hingga tidak
sempat ibadah kepada-MU” Kemudian Allah menjawab, “Engkau tidak lebih kaya
dibanding Sulaiman Sang Raja, tapi kayanya tidak melupakannya dari beribadah
dan taqwa.” Jika ada orang yang selalu
mengeluh tidak sempat beribadah karena sibuk mengurusi kekayaannya, orang itu
akan dihadapkan Allah kepada Nabi Sulaiman, karena beliau tidak pernah lalai
beribadah walaupun orang yang kaya.
2.
Jika seorang
hamba sahaya berkata “ Karena aku sebagai hamba sahaya, aku tidak bisa bebas
beribadah” Allah akan menjawabnya, “ Nabi Yusuf menjadi hamba sahaya, tapi
tidak menghalanginyaa beribadah.” Orang yang sangat sibuk bekerja untuk mencari
uang sehingga lupa beribadah, Allah sudah siap menghadapkan Nabi Yusuf jika ia
beralasan tidak sempat beribadah, karena Nabi Yusuf saat jadi budak tidak pernah meniggalkan ibadah.
3.
Pada orang
miskim berkata” Kemiskinan menghalangiku untuk beribadah kepadamu” Kemudian
Allah menjawab, “ Engkau tidak lebih miskin dari hamba-Ku Isa, namun ibadahnya
tidak terhalang sedikit pun juga,” kadangkala ada orang miskin yang tidak mau
beribadah dengan alasan untuk membanting tulang agar bisa hidup. Di hari kiamat
kelak Allah akan menghadapkannya kepada nabi Isa
4.
Pada orang sakit, jika mereka berkata,” Penyakit telah menghalangiku
beribadah kepada-Mu.” Allah menjawab “ Penyakitmu tidak lebih berat dari Ayyub
yang hampir sekarat, tapi tidak menghalanginya untuk beribadah.” Karena sakitnya,
kadang ia tidak mau bersusah payah melakukan ibadah . padahal , Allah sendiri
sudah memberikan keringanan, namun, tidak dipakainya dengan alasan sedang
sakit, maka Allah akan menghadapkannya kepada Nabi Ayyub, beliau tetap beribada
meskipun sakitnya hamper sekarat.
Ingatlah saudara-saudara bahwasanya Allah
tidak akan menimpakan beban yang tidak mungkin untuk kita kerjakan.
“..Barangsiapa memperbanyak istighfar niscaya Allah menjadikan setiap
kesedihannya jalan keluar dan untuk setiap kesempitannya kelapangan..
0 comments:
Post a Comment