Priyo
Nandang Subagiyo/ PAI 6
Pentingnya
amalan hati
Secara umum amalan hati lebih
penting dan ditekankan daripada amalan lahiriyah. Ibnu Taymiyah mengatakan:”Bahwasanya
ia merupakan pokok keimanan dan landasan utama agama, seperti mencintai
Allah Subhannahu wa Ta’ala dan rasulNya, bertawakal kepada Allah Subhannahu wa
Ta’ala , ikhlas dalam menjalankan agama semata-mata karena Allah Subhannahu wa
Ta’ala , bersyukur kepadaNya, bersabar atas keputusan atau hukumNya, takut dan
berharap kepadaNya”. Imam Ibnu Qayyim juga pernah berkata: “Amalan hati
merupakan hal yang pokok dan utama, sedangkan anggota badan adalah pengikut dan
penyempurna. Sesungguhnya niat ibarat ruh, dan gerakan anggota badan adalah
jasadnya. Jika ruh itu terlepas maka matilah jasad”.
Kedudukan Ikhlas
Ikhlas merupakan hakikat dari agama
dan kunci dakwah para rasul Shallallaahu ‘alaihi wa Salam . Allah Subhannahu wa
Ta’ala berfirman, artinya: ” Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya
menyembah Allah dengan memurnikan keta’atan (ikhlas) kepada-Nya dalam
(menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan
meunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS. 98:5)
Juga firmanNya yang lain, artinya: “Yang menjadikan mati dan hidup, supaya
Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya.” (QS. 67:2)
Diriwayatkan dari Abu Hurairah
Radhiallaahu anhu beliau berkata: ‘Aku mendengar Rasulullah Shallallaahu
‘alaihi wa Salam bersabda, Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman, artinya: “Aku
adalah Tuhan yang tidak membutuhkan persekutuan , barang siapa melakukan suatu
per-buatan yang di dalamnya menyekutukan Aku dengan selainKu maka Aku
tinggalkan dia dan juga sekutunya.” (HR. Muslim).
Dengan demikian suatu ketaatan jika
dilakukan dengan tidak ikhlas dan jujur terhadap Allah, maka amalan itu tidak
ada nilainya dan tidak berpahala, bahkan pelakuknya akan menghadapi ancaman
Allah yang sangat besar. Sebagaimana dalam hadits, bahwa manusia pertama yang
akan diadili pada hari kiamat nanti adalah orang yang mati syahid, namun
niatnya dalam berperang adalah agar disebut pemberani. Orang kedua yang diadili
adalah orang yang belajar dan mengajarkan ilmu serta mempelajari Al Qur’an,
namun niatnya supaya disebut sebagai qori’ atau alim. Dan orang
ketiga adalah orang yang diberi keluasan rizki dan harta lalu ia berinfak
dengan harta tersebut akan tetapi tujuannya agar disebut sebagai orang yang
dermawan. Maka ketiga orang ini bernasib sama, yakni dimasukkan kedalam Neraka.
(na’udzu billah min dzalik).
Pengertian Ikhlas
Ada beberapa pengertian ikhlas, diantarnya:
- Semata-mata
bertujuan karena Allah ketika melakukan ketaatan.
- Ada
yang mengatakan ikhlas ialah membersihkan amalan dari ingin mencari
perhatian manusia.
- Sebagian
lagi ada yang mendefinisikan bahwa orang yang ikhlas ialah orang yang
tidak memperdulikan meskipun seluruh penghormatan dan peng-hargaan hilang
dari dirinya dan berpindah kepada orang lain,karena ingin memperbaiki
hatinya hanya untuk Allah semata dan ia tidak senang jikalau amalan yang
ia lakukan diperhatikan oleh orang,walaupun perbuatan itu sepele.
Ditanya Sahl bin Abdullah At-Tusturi, Apa yang paling berat bagi nafsu? Ia
menjawab: “Ikhlas, karena dengan demikian nafsu tidak memiliki tempat dan
bagian lagi.” Berkata Sufyan Ats-Tsauri: “Tidak ada yang paling berat untuk
kuobati daripada niatku, karena ia selalu berubah-ubah.”
Perusak-perusak Keikhlasan
Ada beberapa hal yang bisa merusak keikhlasan yaitu:
- Riya’ ialah
memperlihatkan suatu bentuk ibadah dengan tujuan dilihat manusia, lalu
orang-orangpun memujinya.
- Sum’ah, yaitu
beramal dengan tujuan untuk didengar oleh orang lain (mencari
popularitas).
- ‘Ujub, masih
termasuk kategori riya’ hanya saja Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah membedakan
keduanya dengan mengatakan bahwa: “Riya’ masuk didalam bab menyekutukan
Allah denga makhluk, sedang ujub masuk dalam bab menyekutukan Allah dengan
diri-sendiri. (Al fatawaa, 10/277)
Disamping itu ada bentuk detail dari
perbuatan riya’ yang sangat tersembunyi, atau di sebut dengan riya’ khafiy’
yaitu:
1.
Seseorang sudah secara diam-diam melakukan ketaatan
yang ia tidak ingin menampakkannya, akan tetapi selalu menginginkan
keistimewaan.
- Menjadikan
ikhlas sebagai wasilah (sarana) bukan maksud dan tujuan. sebagian
ahli ilmu, berkata: “Sesungguhnya kamu ikhlas hanya untuk
mendapatkan hikmah, dan ikhlasmu itu bukan karena Allah semata.
Cara-cara mengobati riya’
- Harus
menyadari sepenuhnya , bahwa kita manusia ini semata-mata adalah hamba.
- Menyaksikan
pemberian Allah, keutamaan dan taufikNya, sehingga segala sesuatunya
diukur dengan kehendak Allah bukan kemauan diri sendiri.
- Selalu
melihat aib dan kekurangan diri kita, merenungi seberapa banyak bagian
dari amal yang telah kita berikan untuk hawa nafsu dan syetan.
- Takut
akan murka Allah, ketika Dia melihat hati kita selalu dalam keadaan
berbuat riya’.
- Memperbanyak
ibadah-ibadah yang tersembunyi seperti qiyamul lail, shadaqah sirri,
menagis karena Allah dikala menyandiri dan sebagainya.
- Mengingat
kematian, kubur dan kedahsyatannya, hari akhir dan huru-haranya.
- Mengenal
riya’, pintu-pintu masuk dan kesamarannya, sehingga bisa terbebas darinya.
- Melihat
akibat para pelaku riya’ baik di dunia maupun di akhirat.
- Meminta
pertolongan dan perlindungan kepada Allah dari perbuatan riya’dengan
membaca doa:”Ya Allah aku berlindung kepadamu dari berbuat syirik padahal
aku mengetahui,dan aku mohon ampun atas apa-apa yang tidak ku ketahui.”
Ciri-ciri
Orang Yang Matang Beragama Islam
Menurut al-Qur’an dan Sunnah
Kriteria yang diberikan oleh Al-Qur'an bagi mereka yang dikategorikan orang
yang matang beragama Islam cukup bervariasi. Seperti pada sepuluh ayat pertama
pada Surah Al-Mu'minun dan bagian akhir dari Surah Al-Furqan.
(1)Mereka yang khusyu' shalatnya. (2) Menjauhkan diri dari
(perbuatan-perbuatan) tiada berguna. (3) Menunaikan zakat. (4) Menjaga
kemaluannya. (5) Jauh dari perbuatan melampaui batas. (6) Memelihara amanat dan
janji yang dipikulnya. (7) Memelihara shalatnya (QS. Al-Mu'minun : 1 - 10) (8)
Merendahkan diri dan bertawadlu'. (9) Menghidupkan malamnya dengan bersujud
(Qiyamullail). (10) Selalu takut dan meminta ampunan agar terjauh dari api
neraka. (11) Membelanjakan hartanya secara tidak berlebihan dan tidak pula
kikir. (12) Tidak menyekutukan Allah, tidak membunuh, tidak berzina. (13) Suka
bertaubat, tidak memberi persaksian palsu dan jauh dari perbuatan sia-sia,
memperhatikan Al-Qur'an, bersabar, dan mengharap keturunan yang bertaqwa (QS.
Al-Furqan : 63 - 67). (14) Merasa puas dengan pemberian atau karunia Allah SWT
meskipun terasa sedikit. (15) Persiapan untuk menjelang kematian dengan
meningkatkan kualitas keimanan dan amal shaleh.
Sedangkan
Ibnul Qoyyim, ulama abad ke 7, menyebutkan 9 kriteria bagi orang yang matang
beragama Islamnya.
- Dia
terbina keimanannya yaitu selalu menjaga fluktualitas keimanannya agar
selalu bertambah kualitasnya.
- Dia
terbina ruhiyahnya yaitu menanamkan pada dirinya kebesaran dan keagungan
Allah serta segala yang dijanjikan di akherat kelak, sehingga dia menyibukkan
diri untuk meraihnya.
- Dia
terbina pemikirannya sehingga akalnya diarahkan untuk memikirkan ayat-ayat
Allah Al-Kauniyah (cipataan-Nya) dan Al-Qur'aniyah (firman-Nya).
- Dia
terbina perasaannya sehingga segala ungkapan perasaan ditujukan kepada
allah, senang atau benci, marah atau rela, semuanya karena Allah.
- Dia
terbina akhlaknya dimana kepribadiannya di bangun diatas pondasi akhlak
mulia sehingga kalau berbicara dia jujur, bermuka manis, menyantuni yang
tidak mampu, tidak menyakiti orang lain dan berbagai akhlak mulia.
- Dia
terbina kemasyarakatannya karena menyadari sebagai makhluk sosial.
- Dia
terbina kemauannya sehingga mendorongnya selalu beramal shaleh.
- Dia
terbina kesehatan badannya karena itu dia memberikan hak-hak badan untuk
ketaatan kepada Allah.
0 comments:
Post a Comment